ROCKOMOTIF, Jakarta – Di penghujung tahun 2020 yang penuh tantangan ini, industri kendaraan di Indonesia mulai fokus ke kendaraan listrik. Beberapa pabrikan mobil dan motor sudah meluncurkan kendaraan listrik mereka untuk pasar Tanah Air. Harganya pun bervariasi, untuk mobil masih di harga setengah miliar ke atas. Motor tentunya lebih terjangkau, namun ternyata tantangan di kendaraan listrik untuk Indonesia ini masih banyak kendalanya.
Hadirnya kendaraan listrik tentunya akan membawa dampak yang baik bagi lingkungan, utamanya polusi udara. Hanya saja, untuk bisa diserap oleh konsumen masih banyak hal dan infrastruktur yang harus dibenahi oleh berbagai pihak.
“Ada sejumlah tantangan yang dihadapi untuk mengakselerasi keberadaan kendaraan listrik. Meskipun pemerintah juga terus melakukan langkah untuk menyelesaikannya,” ujar Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Riyanto,
Pendapat ini disampaikan dalam diskusi mengenai Industri Otomotif yang digelar virtual oleh Forwot (forum wartawan otomotif) dan Forwin (forum wartawan industri), di Jakarta, Kamis (26/11/2020).
Baca juga: Mobil Listrik Juga Butuh Servis Berkala, Ini Kata Hyundai
Tantangan terberat adalah harga dan total biaya kepemilikan (TCO) mobil listrik masih lebih mahal dibanding kendaraan konvensional. Kemudian masih minimnya ekosistem dan infrastruktur untuk pengecasan daya. Karena ini seperti SPBU bagi kendaraan listrik.
Kemudian, masih kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat. Kurangnya dukungan masyarakat (termasuk kalangan industri dan lembaga lain) untuk mewujudkan kebijakan, serta penetrasi pasar yang masih rendah.
“Tetapi sekarang PLN (Perusahaan Listrik Negara) telah telah mennyatakan jaminan ketersediaan daya yang cukup sesuai dengan kebutuhan bagi kendaraan listrik,” kata Riyanto.
Pernyataan ini diamini juga oleh Kepala Balai Teknologi Termodinamika Motor dan Propulsi (BT2MP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hari Setiapraja. Menurut Hari, kecukupan suplai listrik menjadi persoalan utama, karena kendaraan listrik bergantung daya listrik yang mudah diakses di mana pun.
Begitu pula dengan keberadaan infrstruktur pengecasan daya baterai. “Minimnya infrastruktur pengisian daya akan membuat produsen mobil dan masyarakat meragukan mobil listrik. Karena itu, infrastuktur ini perlu dibangun oleh pemerintah,” ungkap Hari dalam diskusi yang sama.
Perlu dukungan berbagai sektor
Riyanto menyebut saat ini pemerintah telah melakukan serangkaian langkah untuk mempercepat pengembangan dan pemasyarakatan kendaraan listrik. Melalui Perpres 55 Tahun 2019, pemerintah mengharuskan prinsipal kendaraan listrik memproduksi di Indonesia dengan kandungan lokal 80%.
Sebab, keberadaan kendaraan listrik di Tanah Air selain karena faktor keniscayaan juga karena kondisi ekonomi yang mengharuskan. Demi memangkas sampai akhirnya bisa menyetop impor minyak dan mewujudkan ketahanan energi yang ujungnya mengurangi tekanan pada neraca perdagangan.
“Konsumsi BBM di Indonesia 1,6 juta barel per hari, di mana 50%-nya diimpor. Dan 49% di antaranya dikonsumsi oleh kendaraan bermotor. Selain itu, kita juga kita juga berkomiten dengan protokol Paris COP 21- 2015, yakni menurunkan emisi gas (CO2) hingga 295 pada tahun 2030 nanti,” papar Riyanto.
Oleh karena itu, lanjut dia, agar percepatan konversi ke kendaraan listrik di Indonesia cepat terealisasi maka perlu keterlibatan pemangku kepentingan terkait. Termasuk keterlibatan operator taksi dan ojek online, serta instansi pemerintah maupun swasta.