ROCKOMOTIF, Jakarta – Perhimpunan Distributor, Importir, dan Produsen Pelumas Indonesia (PERDIPPI) mengajukan permohonan uji materi ke Mahmakah Agung (MA). Adapun uji materi ini terhadap Keputusan Menteri (Kepmen) Perindustrian No. 25 Tahun 2018 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Pelumas Secara Wajib. Pasalnya, peraturan ini bertentangan dengan peraturan atau regulasi di sektor minyak dan gas bumi.
Ketua Dewan Penasehat PERDIPPI, Paul Toar, mengatakan Kepmen Perindustrian tersebut menabrak aturan yang ada sebelumnya. Di antaranya, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2001. Keppres ini merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
“PERIDIPPI telah mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung pada 08 Februari 2019 dengan nomor register 22 P/HUM/2019 terhadap Kepmen Perindustrian (Kepmen) tersebut. Tujuannya agar Kepmen tersebut dibatalkan karena bertentangan dengan regulasi di bidang minyak dan gas bumi,” tutur Paul.
Menurut Paul, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas, telah dengan tegas dan jelas menunjuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pemegang wewenang pengaturan mutu pelumas. Keppres ini sekaligus memperkuat Keputusan Menteri (Kepmen) Pertambangan dan Energi 019K/34/M.PE/1998 tentang Wajib Daftar Pelumas Yang Beredar Di Dalam Negeri.
Sebagai pelaksanaan dari Kepmen tersebut telah diterbitkan peraturan tentang Nomor Pelumas Terdaftar (NPT). Regulasi ini, merupakan upaya melindungi konsumen di Indonesia dalam mendapatkan produk pelumas yang berkualitas. Juga menguatkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi.
“Sejak diberlakukan 20 tahun lalu hingga saat ini regulasi tersebut terbukti efektif. Hal ini bisa dilihat tidak adanya berita-berita tentang kerusakan mesin akibat pelumas yang tidak berkualitas,” ungkap Paul Toar.
Terlebih, Kementerian ESDM melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 053 Tahun 2006 tentang Wajib Daftar Pelumas yang Dipasarkan di Dalam Negeri, dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 2808 K/20/MEM/2006 juga menetapkan standar dan mutu (spesifikasi) pelumas yang dipasarkan di dalam negeri. Regulasi ini sekaligus menjadi dasar ketentuan persyaratan fisika/kimia Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pelumas.
Artinya semua pelumas yang akan dipasarkan di dalam negeri aspek kimia/fisikanya diuji secara lengkap oleh Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) dengan 14 parameter. Pengujian tersebut dilakukan sebelum diterbitkan Nomor Pelumas Terdaftar (NPT).
“Peraturan ini juga sangat ketat. Seluruh pelumas yang beredar diawasi secara bersama dengan Polri. Dan bagi produsen dan distributor yang melanggar akan dikenai sanksi pidana,” jelas Paul.
Jadi Beban Masyarakat
PERDIPPI juga menolak materi Kepmen Perindustrian Nomor 25 Tahun 2018 tersebut. Karena, pada pokoknya memberlakukan SNI Wajib Pelumas terhadap berbagai pelumas kendaraan sejatinya telah dilakukan dalam proses uji untuk mendapatkan NPT.
Terlebih, pada ketentuan SNI Pelumas itu terdapat komponen uji unjuk kerja yang biayanya sangat mahal. “Sehingga, kalau dipaksakan akan menjadi beban dan tidak terjangkau bagi perusahaan pelumas. Pada akhirnya beban tersebut juga dibebankan kepada konsumen, dan dampaknya akan memberatkan perekonomian nasional,” ungkap Paul.
Bahkan, perusahaan-perusahaan pelumas skala kecil yang hanya melayani kebutuhan spesifikasi khusus mesin akan gulung tikar karena tidak sanggup menanggung biaya pegujian. Sebab, biaya pengujian bisa mencapai US$ 1 juta per sampel.
Jika itu terjadi, bukan hanya industri saja yang menanggung akibatnya, tetapi juga para pengguna produk pelumas. Karena, produk pelumas merupakan produk aplikasi dinamis yang berkaitan langsung dengan operasional dan kelangsungan mesin industri, otomotif, marine, penerbangan, dan sebagainya.
Jika operasional para pengguna pelumas itu terhenti atau terganggu, maka produktifitas nasional juga akan terganggu. Pada akhirnya, bangsa dan negeri juga ikut menanggung kerugian. Oleh karena itulah, PERDIPPI meminta agar Kepmen Perindustrian Nomor 25 Tahun 2018 itu diuji materi, atau dibatalkan.
PERDIPPI juga mempertanyakan tatacara akeditasi LSPro, khususnya LSPro bidang pelumas sebagai lembaga yang akan melakukan sertifikasi. Sebab, lembaga ini tidak memiliki fasilitas dan kemampuan untuk menguji aspek kimia/fisika terhadap 14 parameter. Apalagi kemampuan menguji unjuk kerja,” tutup Paul Toar.